Siang itu, hamparan sawah di Desa
Gumelem Kulon dan Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara,
Jawa Tengah masih kelihatan hijau. Itu artinya masyarakat disana belum ada
kesibukan untuk memanen padi. Dalam suasana seperti itu masyarakat setempat lebih
banyak memanfaatkan waktunya untuk membatik.
Menurut penduduk setempat, kegiatan
seperti itu sudah rutin dilakukan oleh kaum perempuan secara turun-temurun
sebagai pekerjaan sampingan selain sebagai petani dan buruh tani.
Mu’minah (81 th) dari Desa Gumelem Kulon
termasuk salah satu dari sekian banyak ibu rumah tangga yang tetap eksis
mempertahankan keberadaan batik tulis “Gumelem” Banjarnegara. Melestarikan seni
adiluhung yang diberikan orang tuanya, adalah alasan paling tepat ia
mempertahankan seni rupa dua dimensional itu.
Ditemui di rumah kediamannya yang
nampak sederhana itu Mu’minah kelihatan sedang sibuk melakukan aktifitas
seperti hari-hari biasanya sebagai seorang pembatik. Tangan keriput seorang ibu
dengan 10 anak, 22 cucu dan 9 cicit itu sepertinya tak mengenal lelah
mengayunkan canting segaris demi segaris di atas kain putih.
Kami sudah terlalu cinta dengan
batik, seni itu indah dan memberikan manfaat banyak bagi kehidupan masyarakat,
ucap Mu’minah mengawali bincang-bincangnya.
Menurut Mu’minah, karya seni dua
dimensional seperti batik tulis tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang
memiliki bakat seni. “Sinten mawon saged mbatik sing penting onten niat”, ucap
Mu’minah dalam bahasa Banyumasan yang kurang lebihnya adalah “Siapa saja bisa mewujudkan
gagasan kreatifitas itu asalkan ada kemauan keras dan didukung dengan
pengetahuan tentang ilmu batik maka setiap orang bisa melakukannya”.
Perajin batik yang namanya sudah
tidak asing lagi di kalangan Pegawai Negeri Sipil itu mengaku mulai membatik
sejak masih jaman penjajahan Jepang, waktu itu masih duduk di bangku Sekolah
Rakyat (SR).
Adapun keahlian dalam
mengekspresikan gagasan estetika yang mengandung seni budaya itu tidak di
peroleh dari hasil pendidikan seni di bangku sekolah melainkan hasil transferan
dari orang tuanya Ny. Satem (almarhumah)
yang juga sebagai pembatik.
Mu’minah memang sudah tidak muda lagi,
meski begitu ia tidak mau berpangku tangan mengandalkan belas kasihan dari anak-anaknya.
Dalam sisa hidupnya ia akan terus berusaha mengabdikan dirinya dalam dunia seni
dua dimensional atau batik tulis, katanya.
Mu’minah, mengembangkan batik secara mandiri baru sekitar tiga
tahun terakhir ini, dengan modal pinjaman dari PNPM sebesar Rp 1.000.000,-. Sebelumnya
ia hanya sebagai tenaga pembatik pada pengusaha lain di Gumelem Kulon.
Dalam galerinya yang terbuat dari
bahan bambu, Mu’minah tidak bekerja sendirian, tetapi dibantu oleh 15 orang
yang semuanya ibu rumah tangga. Setiap bulannya Mu’minah dibantu oleh seorang
anaknya Misriyah (37 th) dan 15 orang pembatik lainnya mampu menghasilkan antara
50 sampai 60 lembar batik tulis murni.
Kisaran harganya dipatok antara Rp
180 ribu hingga Rp 350 ribu/lembar tergantung bahan baku yang digunakan dan
tingkat kesulitannya. Dari hasil karyanya itu, sebagian besar untuk memenuhi
pasar lokal Banjarnegara dan Purbalingga.
Sambil terus mengayunkan cantingnnya
di atas kain putih, Mu’minah dengan wajah yang masih menyisakan kecantikannya
menuturkan tentang keluhan yang menyangkut permodalan. Selama menjadi seorang
pembatik, Mu’minah sering kebingungan memperoleh modal untuk membeli bahan baku
kain dan obat-obatan di Sokaraja. Ia baru bisa membeli bahan baku jika hasil
karyanya sudah laku, katanya.
Menyinggung
tentang proses pembuatan kain batik, secara singkat Mu’minah menjelaskan bahwa
membatik adalah menuliskan malam yang dicairkan di atas kompor pada kain yang
sudah dipola sebelumnya dengan menggunakan canting.
Kain
yang sudah selesai ditulis itu kemudian diberi warna dengan cara dicelup.
Proses pencelupan bisa berulang-ulang tergantung jumlah warna yang dikehendaki.
Maka jangan kaget jika satu lembar kain batik waktu yang dibutuhkan bisa
mencapai satu sampai dua minggu, sedangkan untuk kain batik yang halus bisa
mencapai setengah sampai satu bulan.
Motif batik Gumelem sebagian besar diambilkan
dari alam pedesaan, seperti motif Lumbon, Kopi Pecah, Pring Sedapur, Pring
Setetek, Parang Cendol, cebong kumpul dan masih banyak sekali motif-motif alam
pedesaan lainnya. (s.bag).
No comments:
Post a Comment